Dalam negara demokratis, suara rakyat seharusnya menjadi landasan utama dalam membangun pemerintahan yang adil dan transparan. Namun, realitas yang terjadi di Indonesia menunjukkan paradoks yang mengkhawatirkan, yakni ketika suara-suara kritis dan pemikiran intelektual justru dianggap ancaman, bahkan dikriminalisasi.

Beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan bagaimana aktivis, akademisi, jurnalis, hingga mahasiswa menghadapi tekanan karena menyuarakan kritik terhadap kebijakan pemerintah. Mulai dari pembubaran diskusi ilmiah hingga pemanggilan hukum terhadap konten media sosial yang menyindir kekuasaan, semua ini menunjukkan adanya kecenderungan untuk membungkam perbedaan pendapat.

Padahal, dalam sejarah bangsa ini, peran kaum intelektual sangat krusial dalam perjuangan kemerdekaan dan reformasi. Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan banyak tokoh bangsa lainnya adalah pemikir yang vokal dalam menyampaikan ide-ide besar demi kemajuan negeri. Kritik, dalam konteks ini, bukanlah bentuk permusuhan, melainkan bentuk cinta terhadap tanah air.

Adapun yang menjadi persoalan bukan hanya soal kebebasan berekspresi yang terkekang, tetapi juga bagaimana negara seakan alergi terhadap intelektualitas yang menantang status quo. Kita mulai melihat anti-intelektualisme berkembang, narasi yang menyederhanakan masalah kompleks, mengabaikan analisis akademis, dan mengedepankan loyalitas buta terhadap kekuasaan.

Celakanya, regulasi seperti UU ITE kerap digunakan sebagai alat untuk membungkam suara kritis. Alih-alih melindungi publik dari hoaks atau ujaran kebencian, pasal-pasal karet dalam undang-undang tersebut lebih sering digunakan untuk menyerang mereka yang berani bersuara.

Indonesia tidak kekurangan anak muda yang cerdas dan peduli. Namun ketika suara mereka dianggap ancaman, dan bukan potensi, kita sedang menghadapi darurat demokrasi. Sudah saatnya pemerintah, dan masyarakat secara luas, memahami bahwa kritik dan intelektualitas adalah dua elemen penting dalam memperkuat demokrasi. Sebab tanpa ruang untuk berpikir dan berbicara, negara ini hanya akan dipenuhi oleh kepatuhan palsu dan ketakutan, bukan oleh kemajuan yang sejati.

Penulis: Putra

Shares:
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *