Beberapa pekan terakhir, Indonesia diwarnai oleh berbagai peristiwa yang mencuri perhatian publik, mulai dari aksi massa yang menolak RUU TNI hingga tindakan kekerasan terhadap jurnalis. Kejadian-kejadian ini menimbulkan kontroversi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk kembali merenungkan bagaimana sebenarnya kondisi demokrasi di Indonesia saat ini.

Sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia, kita menganut sistem pemerintahan yang demokratis, di mana kedaulatan berada di tangan rakyat. Prinsip-prinsip utama dalam demokrasi meliputi kesetaraan, kebebasan berpendapat, serta partisipasi aktif dalam politik. Melalui dua kasus yang terjadi baru-baru ini, mari kita telaah bersama bagaimana praktik demokrasi tersebut dijalankan di negeri ini.

Intimidasi dan Kekerasan dalam Aksi Massa

Beberapa waktu terakhir, mahasiswa dari berbagai kampus melakukan aksi demonstrasi menolak Rancangan Undang-Undang TNI. RUU ini dinilai berpotensi mempersempit ruang sipil dan menghidupkan kembali dwifungsi TNI. Meskipun penolakan telah disuarakan secara luas, pemerintah tetap mengesahkan RUU tersebut menjadi UU TNI.

Dilansir dari BBC Indonesia, dalam aksi massa tersebut terjadi intimidasi, kekerasan, dan penangkapan oleh aparat keamanan, termasuk keterlibatan personel TNI. Lebih menyedihkan lagi, salah satu korban dalam bentrokan itu adalah seorang jurnalis mahasiswa yang saat itu sedang melakukan peliputan, sebagaimana diberitakan oleh Tempo.

Padahal, UUD 1945 Pasal 28E ayat (3) dengan tegas menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.

Lantas, apakah aksi massa tersebut dapat dianggap melanggar hukum? Seharusnya tidak, sebab demonstrasi tersebut telah terkoordinasi dengan baik, yang terlihat dari kehadiran aparat keamanan di lokasi. Aksi unjuk rasa memang dapat dibatasi sesuai dengan ketentuan Perkapolri No. 7 Tahun 2012 Pasal 7 ayat (3) huruf a sampai d, namun bukan berarti harus dibungkam.

Teror terhadap Pers sebagai Bentuk Intimidasi

Dalam beberapa pekan terakhir, publik juga dikejutkan dengan teror terhadap kantor media Tempo yang menerima kiriman berupa kepala babi dan bangkai tikus. Ini merupakan bentuk nyata ancaman terhadap kebebasan pers dan kebebasan berpendapat di Indonesia.

Sebagaimana kita ketahui, jurnalis memiliki prinsip independensi dan netralitas yang tidak boleh diganggu oleh pihak mana pun. Pers memiliki peran penting dalam mengumpulkan, mengelola, dan menyebarluaskan informasi untuk kepentingan publik. Profesi jurnalis telah dijamin oleh undang-undang, yaitu Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Pasal 4 ayat (1) menyatakan:

“Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.”

Selanjutnya, ayat (3) menegaskan:

“Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.”

Meskipun kemerdekaan pers sudah dijamin, masih saja ada pihak-pihak yang mencoba membungkamnya melalui tindakan-tindakan intimidatif. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, siapa pelakunya dan apakah tindakan tersebut memang bertujuan untuk membungkam suara kritis media?

Jika kemerdekaan pers terus direnggut, maka aliran informasi dan fungsi kontrol sosial terhadap negara akan terganggu. Pada akhirnya, hal ini akan melemahkan demokrasi itu sendiri.

Penulis: Mahendra

Editor: Adhim Wihatmoko

Shares:
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *